Sehat di Masa Tua dengan Imunisasi
Ibarat mesin yang sudah aus, sistem pertahanan tubuh lansia biasanya sudah melemah. Pemberian vaksinasi bisa mencegah kemungkinan komplikasi infeksi dan penyakit keganasan.
Layaknya bayi dan balita, para lanjut usia (lansia) biasanya juga memiliki daya tahan tubuh lemah. Bila pada bayi dan balita, sistem imunnya lemah karena belum terbentuk sempurna. Maka pada lansia, ibarat mesin yang sudah ‘aus’, sistem imunnya melemah atau fungsinya menurun karena dimakan usia. Penurunan ini membuat sistem imun lansia berespon tidak secepat dan seefektif sebelumnya. Alhasil, para lansia sangat mudah mengalami komplikasi infeksi, serta meningkatkan kemungkinan kejadian keganasan.
Penurunan sistem imun lansia biasanya terjadi meliputi perubahan pada tingkat intrasel, biokimiawi, protein dalam membran sel maupun pada organ tubuh. Pertahanan tubuh nonspesifik pun, seperti sekresi mukus, ikut berkurang. Berkurangnya fungsi kontraksi dan fungsi otonom di sistem pernapasan dan saluran kemih pada lansia, menambah kemungkinan bertambahnya kuman dalam sistem tersebut. Penurunan juga terjadi pada fungsi fagosit, termasuk mobilisasi, fagositosis, proses intraseluler.
Oleh karena itu, imunisasi pada lansia sangat penting dilakukan layaknya pada bayi dan balita. Ada dua macam imunisasi, yaitu aktif dan pasif. Imunisasi aktif adalah imunisasi yang dilakukan dengan merangsang tubuh membentuk zat antibodi sendiri, setelah memasukkan virus atau kuman yang sudah dimatikan atau dilemahkan ke dalam tubuh. Sedangkan pada imunisasi pasif, zat yang dimasukkan dalam tubuh sudah dalam bentuk antibodi, jadi tubuh tidak membuat antibodi sendiri.
Di Amerika Serikat, pemerintahnya telah mengadakan suatu program wajib untuk mencegah influenza dan pneumonia pada lansia. Sementara di Indonesia, imunisasi pada lansia belum menjadi suatu program massal, seperti pada bayi dan anak. Di Tanah Air, program massal imunisasi pada lansia biasanya hanya dilakukan pada para calon jemaah haji. Meski demikian, saat ini sudah mulai dilakukan vaksinasi pneumokok, influenza, hepatitis, tetanus, pertusis, difteri, dan meningitis meningokokus.
Vaksin Influenza
Influenza merupakan salah satu penyakit menular yang banyak menimbulkan kematian, terutama pada kelompok usia lanjut. Di Negeri Paman Sam, setiap tahun 150.000 sampai 200.000 orang dirawat karena influenza dan jumlah meninggal mencapai 36.000 orang. Penyakit influenza juga dapat menimbulkan penyulit berupa pneumonia pada kelompok usia diatas 65 tahun, serta penderita dengan penyakit jantung, paru, dan diabetes mellitus. Oleh karena itu imunisasi influenza dan pneumokok amat dianjurkan pada usia lanjut.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam pemberian vaksin influenza adalah variabilitas galur serta mutabilitas influenza cukup tinggi. Tiap tahun virus influenza terus bermutasi, dan biasanya galur yang baru terbentuk ini akan jadi dominan. Oleh karena itu pemakaian vaksin influenza ini harus terus di-update setiap tahun dan disesuaikan dengan galur yang diperkirakan paling dominan. Untuk hal ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) lah yang berkoordinasi dan merekomendasikan jenis vaksin apa yang digunakan.
Hal tersebut sudah dilakukan di Amerika Serikat, dimana pemberian vaksin influenza adalah program wajib terutama untuk lansia. Untuk periode 2007-2008, pemerintah telah menetapkan penggunaan vaksin flu trivalen yang mengandung glikoprotein permukaan hemagglutinin (HA) dari influenza galur H3N2, H1N1, dan virus influenza B.
Untuk menguji keefektifan dan kemanan vaksin ini, telah dilakukan beberapa studi meta analisis pada tiga kelompok usia, yakni dewasa, anak, dan lansia. Pada orang dewasa, vaksin menunjukkan efikasi tinggi melawan galur target, namun keefektifan secara menyeluruh rendah. Sedangkan pada anak, vaksin juga memperlihatkan efikasi tinggi, namun efektivitasnya mencegah flu rendah. Sementara pada lansia, vaksinasi mungkin tidak mengurangi frekuensi influenza, namun bisa mengurangi pneumonia, tingkat perawatan di rumah sakit, dan kematian akibat influenza atau pneumonia. Jadi, vaksin influenza memperlihatkan manfaat paling jelas pada lansia, karena beresiko tinggi mengalami komplikasi.
Menurut sebuah studi yang hasilnya dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine edisi 4 Oktober 2007, pemberian vaksin influenza pada lansia bisa mengurangi risiko perawatan di rumah sakit hingga 27% karena influenza atau pneumonia. Selain itu, pemberian vaksin influenza juga mengurangi risiko kematian akibat kedua penyakit tersebut hingga 48%.
Efek samping yang mungkin timbul segera setelah penggunaan vaksin influenza adalah demam, nyeri, merah, dan bengkak pada tempat injeksi. Pada orang dewasa juga dilaporkan pada pemakaian sediaan semprot hidung, terjadi batuk, sakit kepala, lemas, dan hidung penuh.
Vaksin Pneumokok
Pemberian vaksin pneumokok ditujukan untuk mencegah berbagai penyakit akibat pneumococcus, terutama pneumonia, meningitis, dan otitis media pada anak dan lansia. Ada dua tipe vaksin yang digunakan, yakni tipe polisakarida dan tipe konjugasi. Dari suatu meta analisis diketahui bahwa vaksin ini efektif mencegah pneumonia sebesar 56-81%. Sementara vaksin yang lebih baru dan saat ini banyak digunakan, Purified polysaccharide 23 valent (PPV-23), memiliki efektivitas sekitar 56-81%. Namun, vaksin PPV-23 terbukti tidak efektif mencegah pneumonia non bakteri, non vaccine serotypes organism. Pada lansia, pemberian vaksin polisakarida ini ternyata cukup cost-effective.
Vaksin polisakarida terdiri dari 23 purified capsular polysaccharide serotypes penyebab kematian 85-90% infeksi pneumokok. Serotipenya adalah 1, 2, 3, 4, 5, 6B, 7F, 8, 9N, 9V, 10A, 11A, 12F, 14, 15B, 17F, 18C, 19A, 10F, 20, 22F, 23F, dan 33F. Karena nilai antibodi 'serotype spesific' menurun sesudah 5-10 tahun, maka kemudian dikembangkanlah vaksin polisakarida terkonjugasi. Vaksin polisakarida terkonjugasi ini akan menginduksi sel limfosit T dependent yang secara normal berasosiasi dengan prolonged immunologic memory (NA).
Pemberian vaksin pneumokokus direkomendasikan pada populasi 65 tahun ke atas. Bagi mereka yang pernah menerima vaksin pneumokokus sebelum usia 65 tahun, vaksinasi perlu diulang satu kali lagi. Pasalnya, diperkirakan setelah 5 tahun antibodi yang terbentuk sudah berkurang titernya. Vaksin pneumokokus biasanya diberikan sebagai dosis tunggal secara intra muskular atau subkutan di daerah deltoid atau paha tengah lateral. Pemberian vaksin pneumokok tidak boleh dilakukan pada pasien yang terbukti menimbulkan reaksi anafilaksis, penderita ISPA akut sedang atau berat, pasien yang sedang menerima imunosupresan, atau mereka yang telah menerima vaksinasi pneumokokus dalam kurun waktu 3 tahun.
Vaksin Hepatitis B
Vaksin hepatitis B merupakan salah satu vaksin yang sangat penting, karena bisa mencegah penyakit infeksi hepatitis B yang hingga kini belum ada pengobatan spesifik. Selain itu, pemberian vaksin ini juga bisa mencegah komplikasi serius akibat hepatitis B, seperti karsinoma hepatoseluler (kanker hati). Studi memperlihatkan, sekitar 80% kanker hati utama, ternyata disebabkan infeksi virus hepatitis B. Karena hubungan sangat erat, tak ayal bila CDC menyebut vaksin hepatitis B sebagai vaksin anti-kanker pertama.
Berbagai data ilmiah memperlihatkan, vaksin hepatitis B sangat aman diberikan pada bayi, anak, dan dewasa, termasuk lansia. Hingga kini, belum ada bukti yang dikonfirmasikan bahwa vaksin hepatitis B bisa menyebabkan penyakit kronis. Meskipun ada efek samping yang timbul, namun bisa diabaikan, mengingat manfaatnya besar. Efek yang mungkin adalah demam, diare, lemah, napsu makan berkurang, rhinitis, dan nyeri pada sisi injeksi.
Pemberian vaksin hepatitis B ditemukan tidak bertentangan dengan obat dan vaksin lainnya. Uji klinis memperlihatkan vaksin hepatitis B bisa diberikan secara kombinasi dengan DPT (difteri, tetanus, dan pertusis), OPV (oral Poliomyelitis vaccine), M-M-R* II (Measles, Mumps, dan Rubella Virus Vaccine Live), Liquid PedvaxHIB* [Haemophilus b Conjugate Vaccine (Meningococcal Protein Conjugate)] atau booster dari DTaP [Diphtheria, Tetanus, acellular Pertussis], dengan menggunakan sisi dan syringes berbeda untuk menginjeksi vaksin.
Sumber: Majalah Farmacia edisi Maret 2008 (vol.7 no.8), halaman: 23